Selasa, 22 Maret 2011

Gunung Bawakaraeng

Bawakaraeng adalah suatu penamaan versi terbaru dari gunung yang disakralkan masyarakat Bugis Makassar. Bawakaraeng inilah yang kemudian diekspos secara besar-besaran oleh para antropolog, sosiolog, dan etnographer (peneliti bidang budaya, suku, dan ras) Belanda. Maksud tersembunyi dari penamaan itu agar masyarakat mengalami perubahan atau perombakan keyakinan. Sebelumnya masyarakat Patuntung meyakini bahwa Tuhan tak bias disosialisasikan atau dipersamakan dengan apapun dari mkhluk ciptaan-Nya.

Kemudian muncul keyakinan baru atau sekte sempalan Patuntung bahwa Tuhan ternyata memiliki gambaran dengan ciptaan-Nya. Persamaan itu yakni Tuhan secara konotatif memiliki mulut pada sebuah gunung. Meskipun hanya secara simbolois. Bawakaraeng adalah symbol dari persamaan Tuhan dengan ciptaan-Nya. Dari gunung itu, terdapat bagian dari Tuhan yang bias terlihat, terpegang, terinjak dan bias dipuja-puja. Bagian tersebut adalah mulut-Nya. Sekte sempalan itu berhasil dikontrol Belanda menuju suatu keyakinan keberhalaan. Penamaan Bawakaraeng adalah fundamen keberhalaan tersebut. Bawakaraeng dari segi makna dasar : “Bawa” yang berarti (mulut) dan “Karaeng” yang berarti (Tuhan). Masyarakat meyakini jika telah melihat Mulut Tuhan, maka Tuhan bukan lagi yang Maha Ghaib dan juga Maha Tunggal. Ini proses sistematis Belanda dalam kolonialisme spiritual.

Jika keyakinan masyarakat Bugis Makassar runtuh, maka semuanya akan mudah diruntuhkan. Pelan-pelan dan terencana dengan matang, belanda menyortir semua unsur keyakinan tentang Sang Maha Tunggal dan menggantinya dengan Berhala ber-Tuhan Banyak. Jika keyakinan Patuntung diruntuhkan. Maka pada akhirnya keyakinan Islam yang masih belum lama diterima oleh penganut Spiritual Patuntung akan mudah diruntuhkan pula. Sampai sekarang sekte Sempalan Patuntung itu masih ada dan melakukan ritual mistik di Gunung tersebut. Meskipun unsure ritual itu sudah diadoni dengan bumbu-bumbu ke-Islam-an, tapi karena fundamennya berasal dari keberhalaan bentukan Belanda. Maka ritual itu merupakan suatu Syirik besar, karena mempersekutukan Allah SWT.

Hanya Patuntung versi Kajang yang tidak terpengaruh oleh kolonialisme spiritual ala Bawakaraeng. Nama “Bawakaraeng” tak diakui dalam “Pasang ri Kajang” Belanda sama sekali tidak pernah menjajah atau menduduki Kajang. Tiga kerajaan besar seperti Luwu, Bone dan Gowa, bahkan secara resmi member perlindungan khusus kepada Kajang. Tiga kerajaan itu juga tidak pernah mengekspansi Kajang. Bohe amma Towa, malah menjadi penasehat spiritual di tiga kerajaan, saat terjadi perang antara Gowa dan Bone, Kajang terhindar dari pertikaian berdarah tersebut.

Gowa menganugerahi penguasa territorial Kajang dengan sebutan karaeng (orang yang dimuliakan), tapi istilah “Karaeng” hanya dipakai selama masa jabatan penguasa territorial tersebut, bila masa jabatan berakhir, berakhir pula sebuatan kekaraengan. Jadi di Kajang, tak berlaku istilah Karaeng, sebagaimana lazimnya dalam masyarakat Makassar. Meskipun dari segi wilayah dan suku, kajang masi termasuk suku Makassar, bagi mereka istilah Karaeng tak berarti apapun, kecuali hanya sebagai penghargaan kepada pemerintah. Jadi Karaeng tak pernah bias diartikan sebagai Tuhan atau sesuatu yang di per-Tuhan-kan.
Menurut BapakAbdul Kahar Muslim (Deklarator/pendiri Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan Tokoh Adat Kajang), nama sejati dari Gunung tersebut adalah Boho Karaeng. Rincian maknanya adalah “Boho” berarti (Puncak) dan “karaeng” berarti (Kemuliaan). Meskipun namnya adalah “puncak kemuliaan” bukan berarti jika seseorang telah mendaki hingga tringulasi, bererti telah mencapai puncak kemuliaan. Istilah itu didasarkan pada spiritualitas Patuntung yang bersifat Ekologis Sentris. Sifat ini berdasarkan pada satu epicenter Teori yakni manusia, lingkungan, hewan, dan tumbuhan berada dalam satu makrokosmos dan mikrokosmos yang tak terpisahkan.

Mendaki menuju “puncak kemuliaan” berarti siapapun yang berada di Gunung tersebut harus berbuat kemuliaan dalam segala niat dan pengalaman. Pendaki tidak boleh melakukan perbuatan terlarang secara etika dan moral. Menurut beliau “Jika kamu sudah mendaki berkali-kali pada BohoKaraeng. Maka belajarlah, latihlah, dan didiklah dirimu selalu dalam kearifan dan kebijakan. Karena itulah makana inti dari kemuliaan pada puncak gunung tersebut.
Jum’at 26 maret 2004 pukul 14.00 wita selama 5 menit terjadi Longsor yang menimbun sebagian kecil persawahan dan pemukiman penduduk Dusun Lengkese (Dusun Bawakaraeng) dan perkebunan di Parangkeke (Panaikang),korban yang dinyatakan hilang berjumlah 32 orang, korban meninggal 9 orang, seorang ditemukan di Lengkese dan 8 orang ditemukan di Lermbah Lowe.
Gunung Bawakaraeng berjarak kurang lebih 75 km dari kota Makassar.Secara ekologis gunung ini memiliki posisi penting karena menjadi sumber penyimpan air untuk Kabupaten Gowa, Kota Makassar, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Bulukumba dan Kabupaten Sinjai.Bawakaraeng terdiri dari bukit - bukit yang berjejer megah. Bukit tertinggi memiliki tinggi sekira 2.700 meter di atas permukaan laut. Untuk mendakinya sampai ke puncak, kita harus menyusuri dua bukit dan 10 pos jalur pendakian. Pepohonan lebat beragam jenis, kabut tipis, sungai kecil, dan pelbagai keindahan alam lainnya akan menghiasi setiap jalur pendakian dari pos ke pos hingga ke puncak.

FENOMENA MISTIS

Pada 1980 - an, seorang pendaki wanita bernama Noni bunuh diri di pos 3 Bawakaraeng. Dia menggantung dirinya di sebuah pohon. Dugaan penyebabnya karena patah hati. Pohon itu masih berdiri hingga kini. Bentuknya angker, seangker kejadian di baliknya. Batangnya besar bercabang, daunnya habis tak tersisa. Bagi yang sudah mendaki Bawakaraeng, pasti kenal betul dengan pohon itu karena pohon itulah yang menjadi penanda pos 3.

Karena alasan mistis, para pendaki enggan mengabadikan pohon itu dalam bentuk foto maupun video. Bahkan mereka juga enggan singgah di pohon itu. Beberapa kesaksian menjelaskan bahwa kejadian aneh terjadi waktu mereka singgah di pohon itu: tiba - tiba hujan, angin kencang, dan lainnya, entahlah!

Beberapa pendaki juga meninggal di Bawakaraeng. Badai, suhu dingin, kelaparan, adalah sebagian dari penyebabnya. Pusara yang terpasang menjadi penanda sejarah mereka. Paling terakhir, meninggalnya dua mahasiswa Geologi Universitas Hasanuddin, Awy dan Iccank, di Pos 5 karena badai.


RITUAL DI BAWAKARAENG

Setiap hari raya Idul Adha, banyak warga dari berbagai daerah menuju ke puncak Bawakaraeng untuk melakukan salat Idul Adha dan ritual. Mereka datang sehari sebelum hari raya dan bermalam di puncak dengan bekal dan pakaian seadanya. Esok subuh, mereka pun memulai salat Idul Adha dan ritual. Mereka memberikan sesajian - sesajian untuk mencari berkah dan keselamatan: gula merah untuk mencari manisnya dunia, kelapa untuk mencari nikmatnya dunia, lilin untuk mencari terangnya dunia, dan sebagainya.

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa warga ke puncak Bawakaraeng untuk melaksanakan ibadah haji, tapi pendapat tersebut dibantah oleh Tata Rasyid, penjaga dan penolong Bawakaraeng. Dia menegaskan, " Yang benar itu warga naik ke puncak untuk lebaran haji, bukan naik haji. Naik haji itu di Mekkah."

Untuk mencapai puncak Bawakaraeng terdapat beberapa alternative jalur yang dapat ditempuh. Namun jalur Lembanna-Bawakaraeng merupakan jalur yang paling banyak dipilih oleh para pendaki. Desa Lembanna yang terletak di kaki Gunung berada di ketinggian 1400 mdpl dapat dicapai dengan perjalanan darat selama 3 jam dari kota Makassar.

Rute Pendakian: Makassar-Lembanna-Bawakaraeng
• Pendakian dimulai dari Desa Lembanna menuju Pos 1 dengan melewati perkebunan sayur penduduk dan hutan pinus dengan jarak tempuh 45 menit.
• Pos 1 menuju Pos 2, waktu tempuh waktu 45 menit.
• Pos 2 menuju Pos 3, medannya belum terlalu sulit sehingga dapat ditempuh selama 15 menit, di Pos 3 terdapat aliran sungai kecil yang jernih dan beberapa tempat yang nyaman untuk mendirikan tenda.
• Pos 3 menuju Pos 4, waktu tempuh 45 menit.
• Pos 4 menuju Pos 5, waktu tempuh 60 menit, di Pos 5 terdapat sumber air.
• Pos 5 menuju Pos 6, mulai mendaki dan agak terbuka karena terdapat banyak pohon tumbang sepanjang perjalanan, waktu tempuh 60 menit.
• Pos 6 menuju Pos 7, waktu tempuh 45 menit.
• Pos 7 menuju Pos 8, waktu tempuh 60 menit, di Pos 8 terdapat sumber mata air yang dikenal dengan sebutan Telaga Bidadari.
• Pos 8 menuju Pos 9, waktu tempuh 45 menit, selama perjalanan kita dapat menikmati keindahan padang Edelweis.
• Pos 9 menuju Pos 10, waktu tempuh 30 menit, di Pos 10 terdapat Triangulasi yang menandakan Puncak Bawakaraeng pada ketinggian 2705 mdpl.

Menuju Puncak terdapat beberapa alternative :
1. Makassar-Lembanna-bawakaraeng : 3 hari PP
2. Makassar-Kanreapia-Bawakaraeng : 3 hari PP
3. Makassar-Tassoso-bawakaraeng : 3 hari PP
4. Makassar-Tabuakkang/Balantijeng-bawakaraeng : 3 hari PP
5. Makassar-Lanying/Loka Lompobattang_Bawakaraeng : 4 hari PP
6. Makassar-Lembang Bu’ne Lompobattang : 4 hari PP
7. Makassar-Majannang/Raulo Lompobattang-Bawakaraeng : 5 hari PP
8. Dll…..


"Berbagi waktu dengan alam, kau akan tahu siapa dirimu yang sebenarnya"
(Soe Hoek Gie)


Sumber: Buletin Lembanna Edisi XI & Blantara Indonesia
Dokumentasi : Korpala Unhas


2 komentar:

  1. katanya ada juga wanita yang hampir meninggal saat mendaki ke pos 8 untung ada teman laki-laki yang menolongnya, jadi pertanyaan saya siapa nama perempuan itu dan dimana sekarang dia tinggal ama temannya itu ?????

    terimah kasi sebelum.nyaa

    BalasHapus